Gratis Humor, cerita lucu dan cerita motivasi hidup

12 Mei 2009

Benarkah Atasan Saya Menyebalkan?



Artikel: Benarkah Atasan Saya Menyebalkan?

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Dalam situasi krisis seperti saat ini, banyak perusahaan yang menerapkan kebijakan tidak populer. Misalnya, mengurangi beberapa pos pengeluaran penting seperti pemotongan biaya promosi, penundaan kenaikan gaji, dan penghematan lain disana-sini. Karena itu, tidak sedikit karyawan yang naik darah hingga keubun-ubun. Dan tentu saja, cara termudah untuk melampiaskan kekesalan adalah dengan menimpakan semua itu kepada atasannya. Padahal, seringkali atasan tidak berada pada posisi sebagai pengambil keputusan. Yang sebenarnya terjadi adalah; sang atasan tengah berusaha untuk menjadi pemimpin yang baik bagi bawahan sekaligus menjadi karyawan yang baik bagi perusahaan. Jadi, apakah cukup fair untuk memvonis atasan kita sebagai orang yang menyebalkan?

Dalam salah satu episode komik favorit saya digambarkan seorang CEO mengatakan kepada para eksekutif bahwa berdasarkan analisis para ahli ekonomi, krisis keuangan global ini akan berlangsung cukup panjang. "Oleh karena itu," demikian kata Pak CEO "perusahaan harus melakukan 'uji cermat' struktur biaya...."

Mendengar petunjuk bos besar itu, salah seorang eksekutif mengatakan: "Baik Tuan, akan kita lakukan penghematan." Sang CEO tersenyum puas karena 'maksudnya' telah berhasil diterjemahkan oleh sang eksekutif dengan baik. "Lantas," sang eksekutif melanjutkan, "bagaimana dengan bonus dan tunjangan yang biasa kita dapatkan?"

Kemudian Pak CEO bilang; "Ah, sudahlah, kamu jangan menyinggung-nyinggung soal itu ....."

Dialog ini memang berasal dari dunia komik. Namun, kita tahu bahwa dalam konteks dunia bisnis gemerlap gaya Amerika dialog itu mewakili perilaku sebagian pemimpin bisnis kelas dunia yang meneriakkan penghematan kebawah, namun tidak menunjukkan keteladanan dengan kesediaan mengurangi kenikmatan dan beragam gelimang yang memanjakan bagi mereka sendiri. Bahkan, kita tahu bahwa pemerintah dan rakyat Amerika pun geram dengan sikap mereka yang menghambur-hamburkan uang untuk kemewahan para eksekutif puncak padahal pemerintah harus mengeluarkan dana talangan untuk menyelamatkan perusahaan itu dari kebangkrutan.

Sampai disini kita baru saja membahas dua situasi dimana para atasan sama-sama menyerukan penghematan. Namun, atasan pertama melakukannya untuk kepentingan perusahaan supaya semua karyawan mengambil peran dan tanggungjawab untuk melakukan penyelamatan. Sedangkan kisah kedua dari dunia komik adalah atasan yang bersedia melakukan apapun juga demi kebaikan perusahaan asal segala kepentingan dan kenyamanannya tidak terganggu.

Kedua situasi ini bisa menjadi titik tolak bagi kita untuk mencari jawaban atas pertanyaan tadi; "apakah cukup fair untuk memvonis atasan kita sebagai orang yang menyebalkan?"

Yang jelas, ketika atasan menuntut kita untuk melakukan sesuatu dengan memberikan keteladanan; kita melihat ada ketulusan disana. Dan kita tahu bahwa aturan yang dibuat sang atasan tidak hanya berlaku kebawah, melainkan juga kepada dirinya sendiri. Dan jika semua itu dia lakukan demi kepentingan perusahaan, maka sesungguhnya itu juga demi kepentingan kita. Jadi sudah selayaknya kita turut mendukung dan berdiri dibelakang atasan yang seperti itu. 'Tapi, itu kan membuat hidup kita sulit!' Mungkin kita berpikir begitu. Tetapi, memang patut jika kita berbagi kesulitan yang dihadapi perusahaan dengan memikulnya sesuai porsi kita masing-masing. Sebab, jika atasan melakukannya sendirian; akan semakin panjang jarak yang harus ditempuh oleh perusahaan.

Bagaimana jika keputusan atasan kita salah? Memang, tidak setiap niat baik selalu bisa diterjemahkan kepada keputusan atau strategy yang tepat. Namun, jikapun ini terjadi tidak berarti itu menjadi pantas bermuara kepada kebencian kita kepada sang atasan. Mungkin yang diperlukan sesungguhnya adalah dialog bisnis biasa dimana sebagai bawahan kita membantu atasan untuk menemukan solusi terbaik bagi perusahaan. Jadi, ini tidak lebih dari soal perbedaan pendapat yang bisa diselesaikan melalui berbagai kesepakatan. Bukankah antara atasan dan bawahan mesti saling melengkapi dan menyokong satu sama lain untuk kepentingan bersama?

Jika para bawahan ingin disukai atasan maka atasan pun ingin disukai oleh bawahan. Disukai oleh atasan sedikit banyak berpengaruh terhadap hasil appraisal tahunan yang menentukan berapa banyak bonus yang akan kita terima, dan berapa persen kenaikan gaji tahun depan yang layak untuk diusulkan kepada pengambil keputusan. Sebaliknya, disukai oleh bawahan pun sedikit banyak mempengaruhi rapor sang atasan, terutama sekali ketika dilakukan survey tentang kualitas kepemimpinannya. Kadang-kadang atasan kebakaran jenggot karena hasil survey diluar harapannya. Bahkan, tidak jarang mereka kecewa kepada bawahannya karena dengan semua hal yang telah dilakukannya untuk para bawahan, ternyata ratingnya tidak terlampau menggembirakan.

Kecuali ada bukti bahwa atasan menindas kita; sesungguhnya kita tidak memiliki cukup alasan untuk membencinya. Sebab, setiap atasan akan ditanya oleh atasannya yang lebih tinggi; "apa yang kamu perjuangkan untuk para bawahanmu?" Dan pertanyaan itu terus beruntun hingga ke posisi paling tinggi. Karena para stakeholders tahu, bahwa; jika seorang atasan menyia-nyiakan bawahannya, maka kepentingan investasi mereka tengah dipertaruhkan. Jadi, kita perlu menguji mana yang lebih mendekati kebenaran; atasan yang menyebalkan, atau bawahan yang tidak memiliki sense of crisis?

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
<http://www.dadangkadarusman.com/>

Catatan Kaki:
Mungkin atasan kita memang tidak sempurna. Tetapi, apakah kita juga sudah menjadi bawahan yang bisa diandalkan bagi mereka?

. ole0.bmp .

Tidak ada komentar: